Senin, 21 Februari 2011

Jaminan Kerabat dan Peran Zakat dalam Pengentasan Kemiskinan

JAMINAN KERABAT DAN PERAN ZAKAT
DALAM PENGENTASAN KEMISKINAN

A.    PENDAHULUAN
Al-Qur'an menyebut kemiskinan sebagi janji syetan, sedangkan janji Allah adalah keutamaan (rezeki) dan ampunan. Karena itu manakala terdapat kemiskinan yang parah di tengah-tengah hartawan di suatu negara, akibatnya akan sungguh mengerikan, kelaparan mendorong kepada kekufuran dan kedengkian kaum miskin membawa kehancuran.
Di dalam Al-Qur'an terdapat beberapa konsep tentang usaha pengentasan kemiskinan, hal ini dapat dilihat dari sejarah permulaan Islam pada periode Mekkah, ketika itu umat Islam banyak mengalami penekanan dari kaum Quraisy, dikejar-kejar, dan hidup serba kekurangan. Oleh karena itu Al-Qur'an banyak memberikan instruksi tentang solidaritas sosisal, agar yang kuat membantu yang lemah, yang kaya membantu yang miskin, dan agar seseorang memperhatikan kerabatnya yang berada dalam kesengsaraan.
Begitu pula dengan zakat yang diwajibkan di Mekkah secara umum berorientasi terhadap fakir miskin. Bahkan diwajibkan mengeluarkan harta di luar zakat jika ternyata zakat tidak mampu menanggulangi masalah kemiskinan. Dan pemerintah Islam sebagai penanggung jawab terhadap semua urusan umat diwajibkan untuk memperhatikan kesejahteraan umatnya sekalipun dari golongan ahli dzimmi.
Menurut Quraisy Shihab secara garis besar usaha pengentasan kemiskinan dapat dibagi pada tiga hal pokok, yaitu :
1.      Kewajiban setiap individu.
2.      Kewajiban orang lain/masyarakat.
3.      Kewajiban Pemerintah.[1]
Berdasarkan latar belakang masalah itulah, penulis sangat tertarik untuk meneliti lebih jauh masalah tersebut dan hasil penelitian ini dituangkan dalam bentuk makalah dengan menggunakan metode tafsir tematis yang berjudul : "JAMINAN KERABAT DAN PERAN ZAKAT DALAM PENGENTASAN KEMISKINAN".

B.     Konsep Al-Qur'an Tentang Jaminan kerabat dan Peran Zakat
1.      Tanggung Jawab Terhadap Kerabat yang Miskin
Terdapat banyak ayat Al-Qur'an yang memberikan perhatian terhadap kaum miskin dari golongan kerabat sendiri. Ada dua ayat yang memerintahkan berbuat Ihsan terhadap mereka, yaitu surah Al-Baqarah ayat 83 dan An-Nisa' ayat 36, dua ayat yang berkenaan dengan hak mereka terhadap wasiat dan warisan yaitu surah Al-Baqarah ayat 18 dan An-Nisa' ayat 8, keempat ayat tersebut termsuk di dalam surah-surah Madaniyyah.
Adapun yang berkenaan dengan hak mereka untuk mendapatkan bantuan materi (infaq) terdapat di dalam enam tempat, yaitu: surah Al-Baqarah ayat 177 dan 215, An-Nahl ayat 90, Al-Isra ayat 26, Ar-Ruum ayat 38, dan Al-Balad ayat 15.
Di antara keenam ayat tersebut hanya dua ayat yang termasuk ayat madaniyyah yaitu surah Al-Baqarah ayat 177 dan 215, selainnya termasuk ayat-ayat makkiyyah. Hal ini dapat dimaklumi karena sebenarnya Islam telah memberikan perhatiannya terhadap kaum miskin sejak awal lahirnya, sebagaimana dijelaskan oleh Yusuf Qardhawi di dalam bukunya Hukum Zakat sebagai berikut :
Perhatian Islam yang besar terhadap penanggulangan problema kemiskinan dan orang-orang miskin dapat dilihat dari kenyataan bahwa Islam semenjak fajarnya baru menyngsing di kota Mekkah –saat umat Islam masih beberapa orang dan hidup tertekan, dikejar-kejar, belum mempunyai pemerintahan dan organisasi politik- sudah mempunyai kitab suci Quran yang memberikan perhatian penuh dan kontinyu pada msalah sosial penanggulangan kemiskinan tersebut.[2]

Di dalam harta orang kaya itu sebenarnya ada hak orang lain selain dari zakat, dan sebagian harta tersebut wajib diberikan kepada orang yang membutuhkannya, sebagaimana firman Allah SWT di dalam surah Al-Baqarah ayat 177 :
tA#uäur tA$yJø9$# 4n?tã ¾ÏmÎm6ãm ÍrsŒ 4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuŠø9$#ur tûüÅ3»|¡yJø9$#ur tûøó$#ur È@Î6¡¡9$# tû,Î#ͬ!$¡¡9$#ur Îûur ÅU$s%Ìh9$#
Artinya :  "dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya".[3]

Imam Qurthubi menjelaskan sebagaimana dikutif oleh As-Sayyid bahwa firman Allah SWT tersebut dijadikan dalil oleh orang-orang yang mengatakan bahwa di dalam harta seseorang terdapat hak orang lain selain zakat dan dengan itulah dicapai kesempurnaan kebajikan (al-birr).[4]
Berkenaan dengan ini Muhammad Abduh memberikan penafsiran bahwa pemberian tersebut bukan zakat tetapi adalah salah satu rukun dari rukun-rukun kebajikan dan hukumnya wajib seperti zakat, dikeluarkan apabila ada orang yang benar-benar membutuhkannya di luar waktu menunaikan zakat, dan tidak disyaratkan nishab tertentu, tetapi hanya disesuaikan dengan kemampuan. Seandainya seseorang hanya mmemiliki sebiji roti, kemudian ada orang yang benar-benar membutuhkannya, sedangkan ia dan keluarganya tidak sedang membutuhkannya, maka ketika itu wajib memberikannnya.[5]
Dari ayat-ayat yang berkenaan dengan hak kerabat ini terdapat beberapa golongan orang yang berhak menerima bantuan tersebut, dan diantara satu ayat dengan ayat lainnya tidak ada perbedaan dalam menempatkan susunan golongan orang tersebut, yaitu :
a.       Kedua Orang Tua
Kedua orang tua ini sebenarnya hanya disebutkan secara jelas di dalam surah Al-Baqarah ayat 180 dan 215, serta kedua ayat tentang ihsan yaitu surah Al-Baqarah ayat 83 dan An-Nisa' ayat 36.
Tetapi bila terdapat kata orang tua atau kerabat dalam satu ayat, maka kata orang tua akan selalu didahulukan dari kata kerabat. Sedangkan selain keempat ayat tersebut ada lima ayat yang memerintahkan untuk memberikan kerabat tanpa didahului orang tua (kata orang tuanya memang tidak ada, sehingga langsung kepada kerabat).
Namun Muhammad Rasyid Ridha menjelaskan bahwa orang yang paling dekat (Al-Aqrabiin) dengan seseorang adalah anak-anaknya jika ada, jika tidak ada maka yang paling dekat adalah saudara-saudaranya sesudah orang tuanya.[6]
Bahkan para ulama sepakat bahkan orang tua tidak hanya berhak terhadap sedekah yang sifatnya temporer, tetapi ia juga berhak terhadap nafkah hidup yang sifatnya dari waktu ke waktu.
Imam Syafi'i tidak menetapkan kewajiban nafkah kecuali pada ayah terus ke atas (kakek, dst.) dan kepada anak walaupun terus ke bawah (cucu, dst.).

b.      Sanak Famili atau Kerabat
Memeberikan bantuan terhadap kerabat adalah merupakan fitrah manusia, karena kesengsaraan yang diderita oleh kerabat bisanya akan dirasakan sebagai kesengsaraan diri sendiri.[7] Apabila tidak mau mengulurkan tangan terhadap kerabat yang miskin tersebut maka ia telah lepas dari fitrah dan agama, serta jauh dari kebajikan.[8]
Al-Qur'an menegaskan tentang hak orang tua dan kerabat dalam memperoleh wasiat, seperti firman Allah di dalam surah Al-baqarah ayat 180 berikut:
|=ÏGä. öNä3øn=tæ #sŒÎ) uŽ|Øym ãNä.ytnr& ßNöqyJø9$# bÎ) x8ts? #·Žöyz èp§Ï¹uqø9$# Ç`÷ƒyÏ9ºuqù=Ï9 tûüÎ/tø%F{$#ur Å$rã÷èyJø9$$Î/ ( $ˆ)ym n?tã tûüÉ)­FßJø9$#
Artinya: "diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ru, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa".[9]

Dilihat berdasar keterangan Nabi SAW, Al-Qur'an tidak menginginkan suatu keadaan, bila seseorang meninggal dunia, meninggalkan keluarganya dalam keadaan terampas dari warisan yang ditinggalkannya karena dipergunakan untuk kepentingan masyarakat umum. Sabda Nabi SAW di dalam kitab Nailul Authar dari Bukhari, Muslim, dan buku-buku hadits lainnya : "Meninggalkan ahli waris yang kaya lebih baik bagi kamu daripada meninggalkan mereka dalam keadaan miskin, menadah tangan di hadapan orang-orang (untuk meminta-minta)".
Hak kerabat adalah dilaturrahmi dan kebajikan (Al-Birr), karena itu memberi sedekah kepada kerabat yang miskin mempunyai nilai ganda yaitu nilai silaturrahmi dan nilai kebajikan yang berupa sedekah, sebagaimana disabdakan oleh Nabi SAW dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, An-Nasa'i, dan At-turmudzi :
إِنَّ الصَّدَقَةَ عَلَى الْمِسْكِينِ صَدَقَةٌ وَعَلَى ذِي الرَّحِمِ اثْنَتَانِ صَدَقَةٌ وَصِلَةٌ[10]
Artinya :  "Beresedekah kepada orang miskin berpahala satu sedekah, sedangkan bersedekah kepaa kerabat berpahala dua ; sedekah dan silaturrahmi".

Dengan demikian tidaklah tepat jika ada yang berpendapat bahwa ayat-ayat tersebut di atas hanya berkenaan dengan perintah berbuat baik dan silaturrahmi sebagaimana disinyalir oleh Yusuf Qardhawi di dalam Kiat Islam Manegentaskan Kemiskinan, sebagai berikut :
Segolongan orang mengatakan bahwa yang dimaksud oleh nas-nas di atas adalah ajakan berbuat baik dan menghubungkan tali persaudaraan, bukan kewajiban menolong mereka. Pandangan ini keliru, dalam berbagai nas tersebut terdapat perintah Allah untuk memberikan hak karib kerabat. Artinya ini suatu keharusan dan kewajiban. Rasulullah SAW juga mengingatkan hal tersebut dan menekankannya agar dipenuhi.[11]

Di dalam Hukum Zakat beliau berkomentar lebih panjang lagi tentang hak kerabat ini berkenaan dengan nafkah sebagai berikut :
Adapun kerabat lain (selain orang tua, isteri, dan anak), menurut pendapat yang saya pilih, bahwa nafkah mereka itu wajib kepada kerabatnya bila tidak ada dari harta kaum muslimin yang mencukupinya, seperti zakat, fa'i, seperlima ghanimah dank as-kas baitul mal lainnya. Dalam keadaan demikian, maka wajib bagi kerabaat yang kaya untuk memberikan nafkah dan jangan membiarkan kerabatnya mati kelaparan dan telanjang. Demikian pula bila tidak ada pemerintahan yang mengumpulkan zakat dan menanggung kehidupan orang fakir, maka wajib bagi kerabat yang kaya untuk memberi kecukupan pada kerabatnya yang fakir dan jangan ditinggalkannya dalam keadaan miskin serta mempunyai kebutuhan. Tidak berdosa baginya memenuhi seluruh atau sebagian kebutuhan itu dari harta zakatnya yang wajib. Karena yang wajib adalah memberi kecukupan kepada kerabat, menutupi kebutuhannya, menghilangkan kebingungannya, mempererat tali persaudaraannya dan memenuhi haknya, dan tidak ada satu keteranganpun yang melarang zakat dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan ini.[12]

Allah telah mewajibkan atas kerabat yang kaya-kaya yang terdekat lalu yang terdekat lagi, untuk memberi belanja sesuai dengan syari'at kepada setiap kerabatnya yang fakir.[13] Siapa saja yang tidak mampu bekerja atau berusaha serta tidak mempunyai harta warisan atau harta simpanan, maka ia dalam jaminan keluarganya yang mampu.[14]

c.       Anak-anak Yatim
Mereka adalah anak-anak yang miskin yang tidak punya orang tua dan atau orang yang ditinggal mati oleh orang-orang yang menanggungnya, dan anak tersebut tidak punya usaha.
Al-Qur'an memberikan penekanan tersendiri terhadap anak-anak yatim dari kerabat sendiri, sebagaimana firman Allah SWT di dalam surah Al-Balad ayat 12-16 yang berbunyi:
!$tBur y71u÷Šr& $tB èpt7s)yèø9$# ÇÊËÈ   7sù >pt6s%u ÇÊÌÈ   ÷rr& ÒO»yèôÛÎ) Îû 5Qöqtƒ ÏŒ 7pt7tóó¡tB ÇÊÍÈ   $VJŠÏKtƒ #sŒ >pt/tø)tB ÇÊÎÈ   ÷rr& $YZŠÅ3ó¡ÏB #sŒ 7pt/uŽøItB ÇÊÏÈ  
Artinya : "Tahukah kamu Apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (yaitu) melepaskan budak dari perbudakan, atau memberi Makan pada hari kelaparan, (kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat, atau kepada orang miskin yang sangat fakir".[15]

Dari ayat-ayat di atas ada dua hak yang dipunyai anak yatim dari kerabat sendiri, yaitu hak yatim dan hak kerabat.

d.      Orang-orang Miskin
Mereka adalah orang-orang yang tidak mampu berusaha mencukupi kebutuhan hidupnya. Imam Al-Maraghi menjelaskan bahwa mereka itu juga merupakan bagian dari tubuh umat, dan sudah merupakan kewajiban bagi setiap individu untuk bergotong royong dan bahu membahu memberikan pertolongan kepada mereka di dalam rangka menjaga eksistensi umat, di samping melestarikan bangunan umat jangan sampai roboh karenanya.[16]

e.       Ibnu Sabil
Ibnu al-sabil adalah orang yang terputus di dalam perjalanan dan terputus hubungan dengan keluarga atau kerabatnya.[17] Di dalam syari'at dperintahkan untuk memberikan pertolongan kepada mereka untuk bisa melanjutkan perjalanan.[18]

f.       Orang yang Meminta-minta
Mereka adalah orang-orang yang terpaksa meminta-minta kepada orang lain untuk menutupi kebutuhan hidupnya.

g.      Untuk Memerdekakan Budak atau Hamba Sahaya

2.      Z a k a t
Di dalam Al-Mufahras Li Alfaz Al-Qur'an terdapat 32 kata 'zakat", namun jumlah kata "zakat" dalam bentuk ma'rifah (definitif) adalah 30 kata, dan di antaranya 27 kali disebutkan dalam satu ayat bersama shalat, dan hanya satu kali disebutkan dalam konteks yang sama dengan shalat tetapi tidak dalam satu ayat, yaitu surah Al-Mu'minun ayat 4 setelah Allah menegaskan bahwa orang-orang mu'min yang memperoleh keberuntungan yaitu orang-orang yang khusyu dalam sembahyangnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna". (Al-Mu'minun ayat 2-3). Sedangkan dua kata lainnya berada di dalam dua ayat yang berbeda dan dan dalam konteks yang berbeda pula.
Zakat merupakan pilar pokok agama Islam yang ketiga, dan disyari'atkan sebagai penjamin hak fakir miskin dalam harta umat dan Negara, dengan demikian Islam sudah sejak dini memberikan perhatian yang besar terhadap usaha pengentasan kemiskinan dengan menjadikan kewajiban zakat sebagai salah satu rukun Islam.
Zakat adalah poros dan pusat keuangan negara Islam, menurut M. Abdullah Mannan zakat meliputi bidang moral, sosial dan ekonomi sebagaimana dijelaskannya sebagai berikut :
Dalam bidang moral zakat mengikis habis ketamakan dan keserakahan si kaya. Dalam bidang sosial, zakat bertindak sebagai alat khas yang diberikan Islam, untuk menghapus kemiskinan dari masyarakat dengan menyadarkan si kaya akan tanggung jawab sosial yang mereka miliki. Dalam bidang ekonomi, zakat mencegah penumpukan kekayaan yang mengerikan dalam tangan segelintir orang dan memungkinkan kekayaan untuk disebarkan sebelum sempat menjadi besar dan sangat berbahaya di tangan para pemiliknya. Ia merupakan sumbangan wajib kaum muslimin untuk perbendaharaan negara.[19]

Zakat bisa mengurangi pemusatan kekayaan sampai lebih kurang 2½ % dari semua harta yang berupa uang setiap tahun. Dan begitu pula dari harta dagangan. Adapun dari hasil pertambangan, bisa dikurangi pemusatannya sampai 20% ketika baru dikeluarkan. Dan begitu pula dari timbunan harta yang bisa tergali dari peninggalan purbakala (rikaz). Dan juga mengurangi pemusatan harta dari beberapa macam binatang ternak sepeti unta, lembu dan kambing, dan juga dari hasil pertanian.
Tujuan pertama zakat ialah mencukupkan keperluan fakir miskin. Karena itu pada beberapa kesempatan Nabi SAW tidak menyebutkan bagian zakat kecuali bagian fakir miskin,[20] sebagaimana diriwayatkan oleh Jama'ah dari Ibnu Abbas r.a ketika mengirim Muadz bin Jabal ke Yaman beliau bersabda : "…….maka beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah Ta'ala mewajibkan atas mereka zakat yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan diberikan kepada orang fakir mereka,…….".
Para ahli fikih tidak membolehkan mencampur adukkan harta zakat dengan kekayaan dari sumber lain. Zakat harus digunakan pada sasaran yang ditentukan oleh syari'ah dan menempati fungsinya yang utama dalam menegakkan solidaritas sosial. Bahkan As-Sarkasi sebagaimana dikutip oleh Yusuf Qardhawi menyatakan bahwa bila seorang imam mengambil dana dari baitul mal zakat - karena baitul mal pajak hasil bumi sedang kosong - untuk menggaji tentara misalnya, pengambilan ini dianggap sebagai utang karena zakat adalah hak fakir miskin.[21]
Pelaksanaan zakat pada awal sejarahnya ditangani sendiri oleh Nabi SAW dengan mengirim para petugasnya untuk menarik zakat dari orang-orang yang ditetapkan sebagai wajib zakat, lalu dicatat, dikumpulkan, dipelihara, dan akhirnya dibagikan kepada mustahiq zakat.
Begitu pula pada masa Khulafaur Rasyidin sehinggan di dalam sejarah tercatat bahwa Abu Bakar menyatakan perang  terhadap orang-orang yang tidak mau mengeluarkan zakat. Pada masa pemerintahan Utsman diberikan suatu kelonggaran dengan membebaskan para pembayar zakat untuk melaksanakan penyerahan zakat kepada penerima zakat, yaitu dalam dua jenis zakat : zakat logam mulia (zakat al-naqdain) dan zakat perniagaan zakat al-tijarah).
Selain zakat al-amwal tersebut, ada lagi zakat yang dihubungkan dengan selesainya ibadah puasa ramadhan, dan tibanya idul fitri, yaitu zakat fitrah.
Di antara hikmah zakat fitrah adalah :
1.      Sebagai pembersih bagi shaum kita yang mungkin dicemari sesuatu yang sia-sia (al-laghwu) atau hal-hal yang porno (al-rafats).
2.      mengangkat harkat dan kehormatan kaum fakir miskin.[22]
Meskipun besarnya zakat fitrah ini relatif kecil, dan setahun sekali (berupa satu sha' korma, kosmis, gandum, atau diqiyaskan kepada makanan pokok seperti berasdi Indonesia sebesar kurang lebih 2 kg). Namun hasilnya  tentu besar karena kewajiban ini bersifat menyeluruh.

3.      Badan Pengelola Zakat ('Amil Zakat)
Muhammad Rasyid Ridha ketika menafsrkan ayat 60 surah At-Taubah, menjelaskan apa yang dimaksud dengan 'amil zakat' : "Mereka yang ditugaskan oleh Imam atau pemerintah atau yang mewakilinya untuk melaksanakan pengumpulan zakat yang dinamai al-jubat, serta menyimpan atau memeliharanya yang dinamai al-khazanah (bendaharawan), termasuk pula para pengembala, petugas administrasi, mereka semua harus terdiri dari orang-orang muslim".[23]
Menurut definisi di atas, seorang 'amil haruslah yang diangkat oleh pemerintah, karena pada dasarnya zakat dikumpulkan semuanya oleh pemerintah atau yang mewakilinya, sebagaimana yang dilaksanakan oleh Nabi SAW dan para sahabat pada awal Islam.
Namun pada saat ini harus diakui bahwa pengumpulan zakat di kalangan umat Islam belum menggembirakan dan tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan, baik dari para wajib zakat karena kurang kesadaran atas kewajibannya maupun dari segi pengelolaan yang belum baik dan efektif.
Hal senada juga dinyatakan oleh Quraisy Shihab sebagai berikut :
Keterlibatan para penguasa dalam pengumpulan dan pembagian zakat berangsur-angsur berkurang antara lain disebabkan karena keengganan kaum muslimin sendiri untuk menyerahkannya dengan alas an adanya penguasa yang tidak Islami, dan tidak mustahil disebabkan juga karena keengganan para pengusaha sendiri untuk melaksanakan tugas-tugas tesebut dengan berbagai pertimbangan.[24]

Pada tahun 1952 di Damaskus, diselenggarakan diskusi tentang zakat dan ditetapkan bahwa sekarang ini yang ,mengumpulkan zakat dari semua harta, baik harta zahir maupun harta batin adalah penguasa, karena dua sebab yaitu :
Pertama, sesungguhnya banyak orang telah meninggalkan kewajiban zakat atas semua hartanya, baik yang zahir maupun yang batin. Karena tidak melaksanakan hak perwakilan Yng diberikan kepada mereka oleh Utsman bin Affan dan penguasa sesudahnya. Sedangkan para fukaha telah menetapkan bahwa penguasa apabila mengetahui penduduknya tidak membayar zakat, hendaklah mengambilnya degan paksa – tidak ada bedanya dalam masalah itu apakah harta batin atau harta zahir.
Kedua, secara keseluruhan semua harta itu kurang lebih adalah harta zahir. Harta perdagangan yang bergerak, dihitung setiap tahunnya berdasarkan perputaran; dan bagi setiap pedagang, besar maupun kecil, hendaklah mencatat harta perdagangan itu, sehingga mudah dihitung jumlah hartanya, diketahui untung dan ruginya, diketahui pula cara-cara untuk mengetrahui keuntungan, sehingga bisa diperkirakan pajak negaranya, diketahi pula modal pokoknya, dan diketahui kewajiban zakat yang merupakan hak Allah, hak peminta-minta, dan hak orang miskin yang tidak meminta-minta. Adapun uang, kebanyakan dititipkan pada bank-bank, atau sejenis dengan itu, sehingga dengan cara ini mudah diketahui. Adapun orang-orang yang menyimpan uangnya dengan cara sembunyi, pada hakikatnya bukanlah orang-orang yang mudah membuat kejahatan dan yang berbuat keji. Jumlahnya sekarang bertambah sedikit, urusan mereka itu semuanya tergantung pada agamanya.[25]

Lebih lanjut Yusuf Qardhawi membagi ‘amil zakat kepada dua urusan pokok, yaitu :
1. Urusan penghasilan/pengumpul zakat dan seksi-seksinya.
Tugas mereka menyerupai tugas para penagih pajak zaman kita sekarang. Di antara tugas itu, ialah melakukan sensus terhadap orang-orang yang wajib zakat, macam harta yang mereka miliki, dan besar harta yang wajib dizakati. Kemudian menagihnya dari para wajib zakat. Di tiap tempat dan daerah perlu adanya cabang urusan pengambil zakat.
2. Urusan pembagian zakat dan seksi-seksinya.
Urusan ini lebih dekat dengan apa yang dilakukan oleh Departemen Sosial di zaman sekarang ini. Urusan ini bertugas memilih cara yang paling baik untuk mengetahui para mustahiq zakat, kemudian melaksanakan klasifikasi terhadap mereka dan menyatakan hak-hak mereka. Juga menghitung jumlah kebutuhan mereka dan biaya yang cukup untuk mereka. Akhirnya meletakkan dasar-dasar yang sehat dalam pembagian zakat tersebut, sesuai sengan jumlah dan kondisi sosialnya.[26]
Dan dalam konteksnya di Indonesia, maka badan ‘amil zakat ini perlu diatur oleh pemerintah secara tegas dan seefektif mungkin, bahkan sangat perlu adanya Undang-undang zakat bagi umat Islam di Indonesia. Dengan demikian, zakat sebagai asset umat Islam benar-benar akan lebih baik untuk mengatasi kemiskinan, bahkan tidak berlebihan kalau dikatakan lebih berdaya guna sesuai dengan historis zakat dan roh zakat.

C. P e n u t u p
Orang miskin yang tidak mampu bekerja, pertama-tama menjadi tanggungan kerabatnya yang kaya, dalam hal ini pemerintah berhak memaksa kerabat si miskin tersebut untuk memberikan hak kerabatnya yang miskin tersebut. Kemudian jika tidak ada kerabat yang kaya maka untuk memenuhi kebutuhannya diambilkan dari harta zakat, jika tidak ada, diambilkan dari Baitul Mal kaum muslimin, kalaupun masih tidak mencukupi maka pemerintah berhak menetapkan berbagai pajak tambahan lainnya sehingga kaum miskin tersantuni.




















DAFTAR   PUSTAKA

Al-Maraghi, Ahmad Mushthafa, Tafsir Al-Maraghi, Darul Fikri, Beirut,  1973 M / 1393 H.

At-Turmudzi, Abu Isa Muhammad bin Isa Tsaurah, Sunan Al-Turmudzi, Darul Fikri, Beirut,  1994.

Mannan, M.A., Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Penerjemah : Drs. M. Nastangi, PT. Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta, 1995.

Muchtar, Abdul Latief, Gerakan Kembali ke Islam, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1998.

Ridha, Muhammad Rasyid, Tafsir Al-Qur'an al-Hakim al-Syahir bi-Tafsir Al-Manar, Darul Ma'rifah, Beirut, 1973 M/ 1393 H., cet. Ke-3.

Qardhawi, Yusuf, Kiat Islam Mengentaskan Kemiskinan, Penerjemah : Syafril Halim, Gema Insani Press, Jakarta,1995.


_____________, Hukum Zakat, Penerjemah : Salman Harun dkk., PT. Pustaka Litera Antar Nusa, 1991.

_____________, Membumikan Al-Qur’an, Mizan, Bandung, 1997, cet. ke-15.

Sabiq, Sayyid, Fiqh Al-Sunnah, Darul Fikri, Beirut, 1981.

Thahir, Abdul Muhsin Sulaiman, Menanggulangi Krisis Secara Islami, Penerjemah : Anshori Umar Sitanggal, PT. Al-Ma’arif, Bandung, 1985.


Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur'an, Al-Qur'an Dan Terjemahnya, DEPAG RI, Jakarta, 1984.



[1] M. Qurasy Shihab, Wawasan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 19960, h.452.
[2]Yusuf Qardhawi, Hukum Zakat, Penerjemah : Salman Harun dkk., (Jakarta : PT. Pustaka Litera Antar Nusa, 1991), h.50.

[3]Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur'an, Al-Qur'an Dan Terjemahnya, (Jakarta : DEPAG RI, 1984), h.43.
[4] As-Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, Jilid I (Beirut : Darul Fikri, 1981), cet. ke-3, h. 352.
[5]Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Qur'an al-Hakim al-Syahir bi-Tafsir Al-Manar, Jilid II, (Beirut : Darul Ma'rifah, 1973 M/ 1393 H), cet. Ke-3, h. 115

[6] I b i d, h.309
[7]Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, (Beirut : Darul Fikri, 1971 m/1393 H), h.56.
[8]Muhammad Rasyid Ridha, Op. Cit., h.116
[9]Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur'an, Op. Cit., h.44
[10]Abu Isa Muhammad bin Isa Tsaurah At-Turmudzi,, Sunan Al-Turmudzi, (Beirut: Darul Fikri, ,  1994), Juz II, h. 142.

[11]Yusuf Qardhawi, Kiat Islam Mengentaskan Kemiskinan, Penerjemah: Syafril Halim, (Jakarta : Gema Insani Press, 1995), h.74-75.
[12]Yusuf Qardhawi, Hukum Zakat, Op. Cit., h.708.
[13]Abdul Muhsin Sulaiman Thahir, Menanggulangi Krisis Secara Islami, Penerjemah : Anshori Umar Sitanggal, (Bandung : PT. Al-Ma’arif, 1985)h.346.
[14]Abdul Latief Muchtar,, Gerakan Kembali ke Islam, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 1998), 115.

[15]Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur'an, Op. Cit., h.1061-1062.
[16]Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Op. Cit., Jilid I, h.56.
[17] Muhammad Rasyid Ridha, Op. Cit.,Jilid II,  h.116
[18]Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Loc. Cit.
[19]M.A.Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, Penerjemah : Drs. M. Nastangi, (Yogyakarta : PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995), h.256.
[20]Abdul Latief Muchtar, Loc. Cit.
[21]Yusuf Qardhawi, Kiat Islam Mengentaskan Kemiskinan, Op. Cit., h. 140.
[22]Abdul Latief Muchtar, Op. Cit., h. 116.
[23]Muhammad Rasyid Ridha, Op. Cit., Jilid X, h. 513.
[24]M. Quraisy Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1997), Cet. ke-15, h. 327.
[25]Yusuf Qardhawi, Hukum Zakat, Op. Cit., h.761.
[26] I b i d, h.546-547.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar