Senin, 21 Februari 2011

Etos Kerja Menurut Al-Qur'an

ETOS KERJA MENURUT AL-QUR'AN

A.    PENDAHULUAN
Al-Qur'an merupakan kitab suci yang telah mendapat jaminan dari Allah akan terpeliharanya dari perubahan. Hal ini pantas sekali dalam kedudukannya sebagai sumber hukum Islam di sepanjang zaman. Begitu juga dalam kedudukannya sebagai salah satu sumber materi dalam menyampaikan dakwah Islamiyah dan merupakan tempat kembali bagi para juru dakwah dalam mengambil rujukan dalam melaksanakan dakwah Islamiyah.
Sebagaimana dimaklumi bahwa kandungan Al-Qur'an bersifat universal, karena memang telah diformulasikan sedemikian rupa adalah untuk seluruh umat manusia sejak zaman Nabi Muhammad saw sampai akhir zaman. Maka konsekuensinya adalah Al-Qur'an harus dapat dipahami dan ditransformasikan oleh umat manusia ke dalam kehidupan sehari-harinya demi tercapainya kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat kelak. Atau dalam istilah M. Quraisy Shihab adalah bagaimana membumikan Al-Qur'an.
Senada dengan itu Sayyid qutb di dalam bukunya Fiqih Dakwah mengatakan :
Al-Qur'an merupakan mukjizat yang nyata adanya. Yang turunnya untuk menghadapi kenyataan dalam kehidupan umat tertentu dalam masa tertentu. Al-Qur'an diturunkan untuk melakukan perombakan terhadap umat manusia secara besar-besaran, dan mampu melakukan perubahan terhadap manusia secara totalitas. Tetapi Al-Qur'an juga mampu berjalan mengiringi umat dalam menghadapi problema kehidupan masa kini, seolah-olah baru saja diturunkan kepada kaum Muslimin dalam menghadapi problema-problemanya yang sedang berlangsung.[1]
     
Kalau dilihat dari kerangka dakwah Islamiyah, yang pertama-tama bersentuhan dan berkompeten untuk memberikan penafsiran Al-Qur'an agar dapat dipahami oleh manusia adalah para juru dakwah. Kemampuan juru dakwah dalam menyampaikan semangat Al-Qur'an yang tepat dan kontekstual adalah sangat penting, karena jika terjadi kesalahan pemahaman terhadap pesan Al-Qur'an akibatnya sangat fatal, umat akan statis atau mereka akan lari dari Islam karena ketidak mengertian mereka terhadap fungsi Al-Qur'an tersebut. Sehingga tidaklah berlebihan jika ada yang berkesimpulan bahwa maju mundurnya umat Islam ini ditentukan oleh juru dakwahnya.
Pada tahun 1993 Bappenas membuat kejutan besar dengan mengungkapkan jumlah desa dan penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan di Indonesia, yang ternyata mencapai 27 juta jiwa (sekitar 15 % penduduk) dan tersebar di semua provinsi di Indonesia.[2]
Sementar bulan Juni 1998 jumlahnya sudah tercatat sebanyak 79,4 juta atau sekitar 39,1% dari jumlah penduduk yang kini berjumlah 202 juta jiwa.[3]
Kenyataan ini telah menyadarkan kita bahwa masalah kemiskinan yang sedang menimpa banyak di antara umat Islam harus benar-benar mendapat perhatian serius dari seluruh kaum Muslimin.
Di dalam Al-Qur'an terdapat beberapa konsep usaha pengentasan kemiskinan. Hal ini dapat dilihat dari sejarah permulaan Islam pada periode Mekkah, ketika itu umat Islam banyak mengalami penekanan dari kaum Quraisy, dikejar-kejar, dan hidup serba kekurangan. Oleh karena itu Al-Qur'an banyak memberikan instruksi tentang solidaritas sosisal, agar yang kuat membantu yang lemah, yang kaya membantu yang miskin, dan agar seseorang memperhatikan kerabatnya yang berada dalam kesengsaraan.
Begitu pula dengan zakat yang diwajibkan di Mekkah secara umum berorientasi terhadap fakir miskin. Bahkan diwajibkan mengeluarkan harta di luar zakat jika ternyata zakat tidak mampu menanggulangi masalah kemiskinan. Dan pemerintah Islam sebagai penanggung jawab terhadap semua urusan umat diwajibkan untuk memperhatikan kesejahteraan umatnya sekalipun dari golongan ahli dzimmi.
Dan sebagai tanggung jawab pribadi, Al-Qur'an memerintahkan seseorang untuk bekerja agar tidak menjadi miskin, dan agar memperoleh kelebihan sehingga dapat membantu saudar-saudaranya yang miskin.
Al-Qur'an menyebut kemiskinan sebagi janji syetan, sedangkan janji Allah adalah keutamaan (rezeki) dan ampunan. Karena itu manakala terdapat kemiskinan yang parah di tengah-tengah hartawan di suatu negara, akibatnya akan sungguh mengerikan, kelaparan mendorong kepada kekufuran dan kedengkian kaum miskin membawa kehancuran.[4]
Berdasarkan latar belakang masalah itulah, penulis tertarik untuk meneliti lebih jauh masalah tersebut dan hasil penelitian ini dituangkan dalam bentuk makalah yang berjudul : "ETOS KERJA MENURUT AL-QUR'AN".

B.     Etos Kerja Menurut Al-Qur'an
Musa Asy'arie memberikan penjelasan tentang Etos Kerja sebagai berikut :
Etos Kerja adalah refleksi dari sikap hidup yang mendasar dalam menghadapi kerja. Sebagai sikap hidup yang mendasar, maka etos kerja pada dasarnya juga merupakan cerminan dari pandangan hidup yang berorientasi pada nilai-nilai yang berdimensi transenden.[5]

Salah satu hal yang ingin dicari sebagai sumber untuk menemukan etos kerja adalah dari agama[6]. Salah satu fungsi  dari agama karena ia mampu membangun dan membangkitkan kekuatan serta motivasi menuju pada kenyataan yang riil.[7]
Al-Qur'an mendorong manusia agar melakukan pekerjaan yang bisa memakmurkan dunia, dan mempunyai usaha sebagai azas pencapaian rezeki dan penghidupan.[8]
Al-Qur'an menggunakan terminology     " إبتغاءفضل الله",     ""إبتغاء رزق  dan
إبتغاء عرض الحياةالدنيا untuk mengungkapkan "mencari rezeki", penggunaannya di dalam Al-Qur'an merupakan motivasi bagi manusia untuk bekerja mencari  rezeki (karunia Allah) dengan mengeksplorasi sumber daya alam yang telah disediakan oleh Allah SWT.
Ada 12 ayat yang menggunakan terminology " إبتغاءفضل الله" di dalam Al-Qur'an, yaitu : surah Al-Baqarah ayat 198, Al-Maidah ayat 2. An-Nahl ayat 14, Al-Isra' ayat 12 dan 66, Al-Qashash ayat 73, Ar-ruum ayat 23 dan 64, Fathir ayat 12, Al-Jatsiah ayat 12, Al-Jumu'ah ayat 10 dan Al-Muzzammil ayat 20.
Dua ayat pertama (surah Al-Baqarah ayat 198 dan Al-Maidah ayat 2) dan ayat 10 surah Al-Jumu'ah adalah termasuk dalam surah-surah Madaniyyah, selainnya termasuk surah-surah Makkiyyah.
Dua ayat pertama tersebut berkenaan dengan perdagangan di musim haji. Permasalahn ini timbul bukan saja dikarenakan adanya jamaah haji yang datang ke Mekkah sambil melakukan perdagangan, tetapi juga banyaknya pedagang non muslim yang datang karena ramainya perdagangan di musim haji tersebut, Musa Asy'arie menjelaskan bahwa :
Dalam sejarah Islam, Kota Mekkah yang terletak di jazirah Arab menjadi pusat perdagangan antar kota, mempunyai arti yang amat penting, baik karena faktor historis di mana Islam dilahirkan di kota itu, maupun kenyataan arah kiblat dan Bait Allah ada di sana, sehingga sampai saat ini dan nanti, kota Mekkah akan tetap menjadi pusat kegiatan keagamaaan umat Islam di seluruh dunia, yang kemudian berpengaruh dalam menciptakan dan memperluas kegiatan ekonomi dan kebudayaan. Kegiatan keagamaan berada dalam masjid, kegiatan ekonomi berlangsung di sekitar pertokoan dan pusat perbelanjaan, sedangkan kebudayaan berada di sekitar halaman masjid yang berhubungan antara masjid dan pusat perdagangan. Oleh karena itu, di sekitar Masjidil Haram, muncul komplek pertokoan dan pusat perdagangan yang melayani kebutuhan para jamaah haji dan umrah sepanjang tahun, yang dari tahun ke tahun jumlahnhya semakin besar, karena makin besarnya jumlah pemeluk Islam di dunia, yang berusaha agar dapat mengunjungi Masjdil Haram untuk melaksanakan badah haji dan umrah serta ziarah ke tempat-tempat bersejarah Islam. Sementara itu, hubungan dan kontak kebudayaan terjadi di halaman masjid serta jalan-jalan yang menghubungkan antara kegiatan ibadah di masjid dan kegiatan ekonomi lainnya, seperti hotel, penginapan dan restoran.[9]

Surah Al-Baqarah ayat 198 menjelaskan tentang pembolehan melakukan kegiatan perdagangan di musim haji, ayat ini turun adalah untuk menjawab permasalahan yang ditanyakan kepada Nabi Muhammad SAW tentang melakukan perdagangan di musim haji yang mereka merasa berdosa melakukannya. Sebagaimana di riwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abdullah Ibnu Anas :
كَانَتْ عُكَاظُ وَمَجَنَّةُ وَذُو الْمَجَازِ أَسْوَاقًا فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَتَأَثَّمُوا أَنْ يَتَّجِرُوا فِي الْمَوَاسِمِ فَنَزَلَتْ{ لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلًا مِنْ رَبِّكُمْ }فِي مَوَاسِمِ الْحَجِّ[10]
Imam Muhammad Abduh menjelaskan bahwa hal tersebut tidak berdosa dilakukan asalkan disertai dengan niat yang ikhlas, bukan berdagang sebagai tujuan utama datang ke Mekkah, bahkan ia menganggap bahwa mencari rezeki disertai mengingatnya sebagai karunia Allah adalah merupakan ibadah.[11]
Tetapi Muhammad Rasyid Ridha berpendapat bahwa pembolehan tersebut hanya rukhshah (keringanan).[12] Dan ia sependapat dengan Imam Al-Maraghi yang mengatakan bahwa menunaikan manasik semata pada waktu-waktu tersebut adalah lebih afdhal dan menjauhi kegiatan-kegiatan duniawi adalah terlebih sempurna.[13]
Sedangkan surah Al-Maidah ayat 2 menjelaskan tentang larangan perang di bulan haram dan menganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedangkan mereka mencari karunia dan keridhaan Allah.
Di dalam surah Al-Jumuah ayat 10 diperintahkan untuk bertebaran mencari rezeki setelah melaksanakan shalat jum'at dan agar selalu mengingaat Allah dalam segala aktivitasnya.
Imam Al-Maraghi menjelaskan bahwa ayat ini mengisyaratkan kepada dua hal, yaitu :
1.      Pengawasan dari Allah pada setiap aktivitas duniawi sehingga tidak melampaui batas dalam mengumpulkan harta dunia dengan segala macam tanpa memperdulikan apakah cara itu halal atau haram.
2.      Berada di dalam pengawasan Allah itu adalah keberuntungan dan kesuksesan di dunia dan di akhirat. Di dunia adalah karena barangsiapa yang merasa diawasi oleh Allah SWT maka ia tidak akan melakukan kecurangan dalam takaran dan timbangan dan tidak akan bersumpah dusta, dengan demikian Allah SWT akan melipat gandakan rezeki baginya, sedangkan di akhirat ia akan mendapatkan keridha'an Allah SWT.[14]
Dan ada satu ayat yang menggunakan uslub yang berbeda dari yang lainnya dalam menganjurkan mencari rezeki, yaitu surah Al-Qashash ayat 77 :
وَابْتَغِ فِيمَا آَتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآَخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ

Artinya : "Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan kebahagaiaanmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain), dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan".[15]
Terminologi "" إبتغاء عرض الحياةالدنيا digunakan untuk mengungkapkan cara memperoleh harta benda kehidupan di dunia dengan jalan yang dilarang yaitu dengan menyuruh budak wanita melacur (surah An-Nuur) ayat 33) dan membunuh orang tanpa haq kemudian merampas hartanya (surah An-Nisa' ayat 94), tetapi di dalam ayat ini adalah peringatan agar tidak sembarangan membunuh di dalam suasana perang dan belum jelas status yang dibunuh tersebut dengan maksud memperoleh harta rampasan perang (ghanimah).
Di dalam surah Al-Ankabut ayat 17 Allah memerintahkan untuk meminta rezeki hanya dari sisi Allah dan untuk menyembah serta bersyukur kepada-Nya, karena Dia-lah satu-satunya yang bisa memberi rezeki. Di dalam ayat inilah terminology" إبتغاء رزق " digunakan.
Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa ada 12 ayat yang menggunakan terminology " إبتغاءفضل الله ", yaitu tiga ayat di antaranya termasuk ayat madaniyyah dan 9 ayat lainnya termasuk ayat makkiyah. Penggunaan terminology " إبتغاءفضل الله " tersebut ternyata mempunyai hikmah yang dalam, sebagaimana dijelaskan oleh Quraisy Shihab sebagai berikut:
Manusia diperintahkan Allah untuk mencari rezeki bukan hanya untuk mencukupi kebutuhannya, tetapi Al-Qur'an memerintahkan untuk mencari apa yang diistilahkannya fadhl Allah, yang secara harfiah berarti 'kelebihan yang bersumber dari Allah'. Kelebihan tersebut dimaksudkan antara lain agar yang memperoleh dapat melakukan ibadah secara sempurna serta mengulurkan tangan bantuan kepada pihak lain yang oleh karena satu dan lain sebab tidak berkecukupan.[16]

Hal tersebut juga diterangkan oleh Muhammad Nejatullah Siddiqi ketika menjelaskan tentang tujuan aktivitas ekonomi yang sempurna menurut Islam adalah :
1.      Memenuhi kebutuhan hidup seseorang secara sederhana.
2.      memenuhi kebutuhan keluarga.
3.      Memenuhi kebutuhan jangka panjang.
4.      Menyediakan kebutuhan keluarga yang ditinggalkan.
5.      Memberikan bantuan sosial dan sumbangan menurut jalan Allah.[17]

Menurut Imam Al-Maraghi pengibaratan rezeki dengan Al-Fadhl , usaha (al-kasb) dengan ibtigha' disertai dengan menyebutkan sifat rububiyyah yang menunjukkan bahwa untuk memperoleh rezeki itu berangsur-angsur, adalah merupakan petunjuk bahwa seseorang tidak akan memperoleh rezeki tanpa berusaha melalui sebab-sebab yang lazim.[18] Atau di dalam hal ini berlaku hukum kausalitas.

C.     Pengelolaan Sumber Daya Alam
Adapun kesembilan ayat Makkiyyah tersebut mempunyai uslub yang indah untuk sampai kepada perintah mencari karunia Allah (rezeki), semuanya dimulai dengan mendeskripsikan tentang sunnatullah dan sumber daya alam yang dapat digali serta diolah oleh manusia. Semua itu disediakan oleh Allah untuk manusia agar dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya di dunia.
Sebagian ayat menggambarkan tentang penundukkan laut dan berlayarnya kapal di atas lautan tersebut (QS. 16:14, 17:66, 35:12, dan 45:12), dan Allah mengirim angin sehingga layar dapat terkembang (QS. 30:46).
Dengan demikian dapatlah manusia menangkap ikan dan mengambil perhiasan yang ada di laut, bahkan di dalam surah An-nahl ayat 5-14 digambarkan tentang binatang-binatang ternak yang dapat dimanfaatkan bulunya dan sebagiannya untuk dimakan, dijadikan tunggangan dan pemikul beban-beban manusia. Penurunan air hujan dari langit, sebagian untuk diminum dan lainnya untuk menyuburkan tumbuh-tumbuhan dan rumput di padang gembalaan. Allah juga menundukkan malam dan siang, matahari, bulan, bintang dan laut untuk manusia, supaya manusia mencari (keuntungan) dari karunia-Nya dan supaya bersyukur, karena  jika manusia mencoba menghitung nikmat Allah niscaya tidak akan mampu (Surah An-Nahl ayat 18).
Di dalam surah Faathir ayat 12 Aallah menjelaskan tentang dua macam laut yang berbeda yaitu yang tawar dan segar lagi sedap diminum, dan yang asin lagi pahit, tetapi dari keduanya manusia dapat memakan daging ikan yang segar dan mengeluarkan perhiasan yang dapat dipakai manusia.
Dan sebagian ayat menggambarkan tentang penciptaan malam dan siang supaya manusia dapat berusaha pada sing hari dan beristirahat pada malam hari (QS. 17:12, 28:73, dan 30:23), bahkan penciptaan malam dan siang tersebut merupakan tanda kekuasaan Allah SWT, sebagaimana firman-Nya dalam surah Ali Imran ayat 190 :
žcÎ) Îû È,ù=yz ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur É#»n=ÏF÷z$#ur È@øŠ©9$# Í$pk¨]9$#ur ;M»tƒUy Í<'rT[{ É=»t6ø9F{$#  
Artinya: "Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,”[19]

Dan demikian pula di dalam surah Ar-Ruum ayat 23 :
ô`ÏBur ¾ÏmÏG»tƒ#uä /ä3ãB$uZtB È@ø©9$$Î/ Í$pk¨]9$#ur Nä.ät!$tóÏGö/$#ur `ÏiB ÿ¾Ï&Î#ôÒsù 4 žcÎ) Îû šÏ9ºsŒ ;M»tƒUy 5Qöqs)Ïj9 šcqãèyJó¡o  
Artinya: "dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah tidurmu di waktu malam dan siang hari dan usahamu mencari sebagian dari karuniaNya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mendengarkan."[20]

Sehingga penciptaan siang dan malam itu menjadi rahmat bagi manusia yang wajib disyukuri, sebagaimana firman Allah di dalam surah Al-Qashash ayat 73 :
`ÏBur ¾ÏmÏGyJôm§ Ÿ@yèy_ â/ä3s9 Ÿ@ø©9$# u$yg¨Y9$#ur (#qãZä3ó¡oKÏ9 ÏmŠÏù (#qäótGö;tGÏ9ur `ÏB ¾Ï&Î#ôÒsù ö/ä3¯=yès9ur tbrãä3ô±n@  
Artinya: "Dan karena rahmat-Nya, Dia jadikan untukmu malam dan siang, supaya kamu beristirahat pada malam itu dan supaya kamu mencari sebahagian dari karunia-Nya (pada siang hari) dan agar kamu bersyukur kepada-Nya."[21]

Dengan tersedianya sumber daya alam tersebut buat manusia, maka tugas manusialah untuk mengelola dan memanfaatkan melalui kerja, agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dan merupakan manifestasi dari tugasnya sebagai khalifah di muka bumi ini untuk memakmurkannya.
Prinsip ekonomi yang berulang-ulang ditekankan oleh Al-Qur'an menurut Abul A'la Al-Maududi adalah :
Alat Produksi dan sumber daya alamiah yang mendukung kehidupan manusia telah disediakan oleh Tuhan, Dia-lah yang telah menciptakan berbagai benda itu sebagaimana adanya dan mengatur benda-benda tersebut untuk patuh pada hukum alam agar bias dimanfaatkan oleh manusia, Dia-lah pemberi izin kepada manusia untuk mengelola benda-benda itu dan Dia pulalah yang menyediakan semua itu untuk dimanfaatkan oleh manusia.[22]

Tugas manusia adalah bekerja mengelola sumber daya alam tersebut sehingga manusia dapat makan dari rezeki yang oleh Allah SWT. Allah telah memberikan jaminan rezeki bagi semua hamba-Nya, bahkan rezeki semua yang hidup di muka bumi ini, sebagaimana firman Allah dalam surah Hud ayat 6 :
$tBur `ÏB 7p­/!#yŠ Îû ÇÚöF{$# žwÎ) n?tã «!$# $ygè%øÍ ÞOn=÷ètƒur $yd§s)tFó¡ãB $ygtãyŠöqtFó¡ãBur 4 @@ä. Îû 5=»tGÅ2 &ûüÎ7B   
Artinya: "dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)".[23]

Namun, seiring dengan itu, Sunatullah menetapkan bahwa rezeki yang telah dijamin, makanan yang telah ditakar, dan kehidupan yang telah di mudahkan, tidak akan diperoleh kecuali dengan bekerja.[24] Dan ayat tersebut memberikan kesan bahwa jaminan rezeki yang dijanjikan Tuhan, ditujukan kepada makhluk yang dinamainya "dabbah", yang arti harfiahnya adalah "yang bergerak".[25]
Yusuf Qardhawi menganggap tanah (alam) dan kerja adalah sebagai unsur utama di dalam produksi. Produksi lahir dan tumbuh dari perkawinan manusia dengan alam,[26] karena itu Allah menggandengkan keduanya dalam firman-Nya surah Al-Mulk ayat 15 yang berbunyi :
uqèd Ï%©!$# Ÿ@yèy_ ãNä3s9 uÚöF{$# Zwqä9sŒ (#qà±øB$$sù Îû $pkÈ:Ï.$uZtB (#qè=ä.ur `ÏB ¾ÏmÏ%øÍh ( Ïmøs9Î)ur âqà±Y9$#
Artinya: "Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan".[27]

Untuk meraih sukses atau sukses yang lebih besar bagi kita sudah ditemukan satu rumus, yaitu kita harus mampu memanfaatkan sebesar-besar dan sebanyak-banyak anugerah Tuhan itu.[28] Tetapi kegiatan pengeksplorasian kekayaan alam tersebut hendaknya dengan memperhatikan keseimbangan alam, agar tidak membuat kerusakannya, karena di beberapa ayat diiringkan larang berbuat kerusakan di muka bumi setelah perintah agar mencari karunia Allah.
Dan hendaknya manusia menjadi pandai bersyukur atas segala karunia Allah SWT yang telah disediakan-Nya tersebut, di dalam beberapa ayat yang berhubungan dengan etos kerja ini terdapat harapan supaya manusia bersyukur (QS. 16:14, 28:73, 30:46, 35:12, dan 45:12).

D.    Penutup
Al-Qur'an memberikan motivasi kepada manusia untuk bekerja disertai dengan menyatakan bahwa Allah SWT telah menyediakan sumber daya alam yang siap diolah oleh manusia. Al-Qur'an menggunakan kata "Ibtigha fadhl Allah" adalah sebagai isyarat bahwa bekerja bukan sekedar untuk mencukupi kebutuhan prbadi, tetapi agar memperoleh kelebihan sehingga dapat membantu kaum miskin, penggunaan kata tersebut juga mengisyaratkan bahwa Fadhlullah atau rezeki hanya akan diperoleh melalui Ibtigha' atau Al-Kasb (bekerja). Demikianlah Allah menetapkan aturan-Nya supaya disadari bahwa rezeki yang didapat adalah hanya anugerah dari Allah semata, untuk itu masyarakat dan pemerintah diminta memberikan bantuan, baik berupa modal ataupun latihan kerja dan lain-lainnya.
Kemudian tugas juru dakwah adalah agar lebih banyak memperhatikan tentang keadilan sosial dalam Islam tanpa harus mengurangi penekanan di bidang-bidang lain, dan agar mengkombinasikan antara dakwah bil lisan dengan dakwah bil hal sehingga angka kemiskinan dapat ditekan.



       










DAFTAR PUSTAKA
Ahjad, Nadjih, Islam Jalan Menuju Hidup Sukses, Bina Ilmu, Surabaya, 1991.
Al-Bukhari, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail, Shahih Bukhari, Maktabah Dahlan, Indonesia t.th.

Al-Ghazali, Syaikh Muhaammad, Islam yang ditelantarkan, Penyunting: Muhammad Al-Baqir, Karisma, Bandung ,1994.

Al-Maraghi, Ahmad Mushthafa, Tafsir Al-Maraghi, Darul Fikri, Beirut,  t.th.

Al-Maududi, Abul A'la, Esensi AlQur'an, Penerjemah: Ahmad muslim, Mizan, Bandung,1997.

Amsyari, Fuad, Islam Kaaffah Tantangan Sosial dan Aplikasinya di Indonesia, Gema Insani Press, Jakarta,  t.th.

Asy'arie, Musa, Islam, Etos Kerja dan Pemberdayaan Ekonomi Umat, LESFI, Yogyakarta, 1997.

Az-zuhaili, Wahbah, Al-Qur'an dan Paradigma Peradaban, Penerjemah : M. Tohir dan Team Tititan Ilahi, Dinamika, Yoyakarta, 1996.

Geerts, Clifford, The Interpretation of Culture, New York: 1974.

Qardhawi, Yusuf, Kiat Islam Mengentaskan Kemiskinan, Penerjemah : Syafril Halim, Gema Insani Press, Jakarta,1995.

_____________, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, Penerjemah : KH. Dididn Hafidhuddin dkk., Robbani Press, Jakarta, 1997.

Qutb, Sayyid, Fiqih Dakwah, Penerjemah : Suwardi Effendi BIS dan Ah. Rosyid Syofi, Lc., Pustaka Amani, Jakarta,  1995.

Rasyid Ridha, Muhammad, Tafsir Al-Qur'an al-Hakim al-Syahir bi-Tafsir Al-Manar, Darul Ma'rifah, Beirut, 1973 M/ 1393 H., cet. Ke-3.

Shihab, M. Quraisy, Wawasan Al-Qur'an, Mizan, Bandung, 1996.

Siddiqi, Muhammad Nejatullah, Kegiatan Ekonomi Dalam Islam, penerjemah: Anas Siddiq, Bumi Aksara, Jakarta, 1996. 

Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur'an, Al-Qur'an Dan Terjemahnya, DEPAG RI, Jakarta, 1984.




[1] Sayyid Qutb, Fiqih Dakwah, Penerjemah : Suwardi Effendi BIS dan Ah. Rosyid Syofi, Lc., (Jakarta : Pustaka Amani, 1995), Cet.ke-2, h.2.
[2] Fuad Amsyari, Islam Kaaffah Tnatangan Sosial dan Aplikasinya di Indonesia, (Jakarta : Gema Insani Press, t.th), h.206.
[3] Akhir 1998 Penduduk Miskin 95,8 juta, Dinamika Berita, (Banjarmasin), 3 juli 1998, h.12.
[4] Syaikh Muhaammad Al-Ghazali, Islam yang ditelantarkan, Penyunting: Muhammad Al-Baqir, (Bandung : Karisma, 1994), h.247.
[5] Musa Asy'arie, Islam, Etos Kerja dan Pemberdayaan Ekonomi Umat, (Yogyakarta, LESFI, 1997), h.34
[6]I b I d, 35
[7]Clifford Geerts, The Interpretation of Culture, (New York: 1974), h.90.
[8]Wahbah Az-zuhaili, Al-Qur'an dan Paradigma Peradaban, Penerjemah : M. Tohir dan Team Tititan Ilahi, (Yoyakarta : Dinamika, 1996), h.212.
[9] Musa Asy'arie, Op Cit., h.59-60
[10] Abu Abdillah Muhammad bin Ismail Al-Bukhari, Shahih Bukhari, (Indonesia : Maktabah Dahlan, t.th.), h.677.
[11]Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Qur'an al-Hakim al-Syahir bi-Tafsir Al-Manar, (Beirut : Darul Ma'rifah, 1973), Jld.II, h.231.
[12] I b i d
[13] Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, (Beirut : Darul Fikri, t.th.), Jilid I, Juz II, h.102.
[14] I b i d, Jilid X, h.102.
[15] Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur'an, Al-Qur'an Dan Terjemahnya, (Jakarta : DEPAG RI, 1984), h.623.
[16] M. Quraisy Shihab, Wawasan Al-Qur'an, (Bandung : Mizan, 1996), h.403.
[17]Muhammad Nejatullah Siddiqi, Kegiatan Ekonomi Dalam Islam, penerjemah: Anas Siddiq, (Jakarta : Bumi Aksara, 1996), h.15. 
[18] Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Op Cit., Jilid V, h.19.

[19]Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur'an, Op Cit., h.109.
[20] I b i d, h.644.
[21] I b i d, h.622.
[22] Abul A'la Al-Maududi, et.al., Esensi AlQur'an, Penerjemah: Ahmad muslim, (Bandung: MIzan, 1997), h.69.
[23] Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur'an, Op Cit., h.306.
[24] Yusuf Qardhawi, Kiat Islam Mengentaskan Kemiskinan, Penerjemah : Syafril Halim, (Jakarta : Gema Insani Press, 1995), h.55
[25] M. Quraisy Shihab, Op Cit., h.499-450.
[26] Yusuf Qardhawi, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, Penerjemah : KH. Dididn Hafidhuddin dkk., (Jakarta : Robbani Press, 1997), h.146.
[27] Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur'an, Op Cit., h.956.
[28] Nadjih Ahjad, Islam Jalan Menuju Hidup Sukses, (Surabaya: Bina Ilmu, 1991),  h.26

Tidak ada komentar:

Posting Komentar