Senin, 21 Februari 2011

Tanggung Jawab Pemerintah terhadap Pengentasan Kemiskinan

TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH TERHADAP
PENGENTASAN KEMISKINAN

A.    Pendahuluan
Al-Qur'an menyebut kemiskinan sebagi janji syetan, sedangkan janji Allah adalah keutamaan (rezeki) dan ampunan. Karena itu manakala terdapat kemiskinan yang parah di tengah-tengah hartawan di suatu negara, akibatnya akan sungguh mengerikan, kelaparan mendorong kepada kekufuran dan kedengkian kaum miskin membawa kehancuran.
Di dalam Al-Qur'an terdapat beberapa konsep tentang usaha pengentasan kemiskinan, hal ini dapat dilihat dari sejarah permulaan Islam pada periode Mekkah, ketika itu umat Islam banyak mengalami penekanan dari kaum Quraisy, dikejar-kejar, dan hidup serba kekurangan. Oleh karena itu Al-Qur'an banyak memberikan instruksi tentang solidaritas sosisal, agar yang kuat membantu yang lemah, yang kaya membantu yang miskin, dan agar seseorang memperhatikan kerabatnya yang berada dalam kesengsaraan.
Begitu pula dengan zakat yang diwajibkan di Mekkah secara umum berorientasi terhadap fakir miskin. Bahkan diwajibkan mengeluarkan harta di luar zakat jika ternyata zakat tidak mampu menanggulangi masalah kemiskinan. Dan pemerintah Islam sebagai penanggung jawab terhadap semua urusan umat diwajibkan untuk memperhatikan kesejahteraan umatnya sekalipun dari golongan ahli dzimmi.
Menurut Quraisy Shihab secara garis besar usaha pengentasan kemiskinan dapat dibagi pada tiga hal pokok, yaitu :
1.      Kewajiban setiap individu.
2.      Kewajiban orang lain/masyarakat.
3.      Kewajiban Pemerintah.[1]
Berdasarkan latar belakang masalah itulah, penulis sangat tertarik untuk meneliti lebih jauh masalah tersebut dan hasil penelitian ini dituangkan dalam bentuk makalah dengan menggunakan metode tafsir tematis yang berjudul : " TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH TERHADAP PENGENTASAN KEMISKINAN".


B.     Tanggung Jawab Pemerintah Terhadap Pengentasan Kemiskinan
Pemerintah berkewajiban melindungi para fakir miskin yang berada di daerah kekuasaannya dan bertanggung jawab atas keselamatan dan kelestarian hidup mereka.
Apabila dari anggatan belanja zakat tidak mencukupi utnuk memenuhi kebutuhan fakir miskin, maka harta kekayaan pemerintah yang terhimpun di Baitul Mal dapat dipergunakan.
Dalam sistem Islam, sumber dana utama pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan dan mengangkat kehidupan kaum papa (have not) tidak hanya terbatas pada zakat. Menurut Abdul Manna nada beberapa aspek pembiayaan negara dalam Islam pada periode awalnya adalah sebagi berikut :
a.       Zakat
b.      Jizyah
c.       Kharaj atau pajak bumi
d.      Barang rampasan perang
e.       Pajak atas pertambangan dan harta karun
f.       Bea cukai dan pungutan[2]

Harta Baitul Mal yang dimiliki pemerintah terkumpul dengan berbagai cara, misalnya dengan menjalankan usaha sendiri, menyewakan sesuatu, menjalankan sistem usaha bagi hasil, mengusahakan pertambangan, dan mengelola sekto-sektor vital bagi masyarakat umum.
Namun apabila suatu ketika Baitul Mal tidak mampu menutupi kebutuhan kaum miskin, maka aparat pemerintah harus segera bertindak. Mereka diperbolehkan – bahkan diharuskan memaksa orang-orang kaya untuk merelakan sebagian hartanya untuk menutupi kebutuhan kaum miskin.
Pada prinsipnya, usaha untuk mengangkat derajat kaum miskin tersebut dari kemiskinannya – apabila tidak diperoleh dana dari Baitul Mal lagi – maka otomatis menjadi tanggung jawab seluruh kaum muslimin, maka pemerintah wajib –karena kewajibannya melayani urursan umat- mendapatkan harta tersebut dari kaum muslimin sehingga dia melaksanakan kewajiban tersebut.
Hal senada juga disampaikan oleh Ibnu Hazm sebagai berikut : "Diwajibkan kepada orang-orang kaya dalam suatu masyarakat membantu orang-orang miskin di kalangan mereka. Yang berwewenang boleh memaksa mereka melakukannya bila dana zakat dan perbendaharaan lainnya tidak mencukupi. Kaum berada harus merelakan sebagian hartanya untuk menutupi kebutuhan primer kaum dhu'afa berupa sandang, pangan dan papan secara memadai".
Menurut Yusuf Qardhawi, Negara harus mempunyai dan menggunakan berbagai sarana untuk menghapus kemiskinan, dan memberikan jaminan kehidupan bagi warganya, dengan demikian akan tecipta solidaritas islam dalam suatu masyarakat. Berbagai sarana tersebut tidak akan sama di antara satu daerah dengan daerah lainnya, sesuai dengan situasi, kondisi dan lingkungan masing-masing. Hal tersebut terpulang kepada ijtihad para ahli dan aparat penguasa dalam masyarakat Islam.[3]
Oleh karena itu para ulama Islam dalam berbagai masa mengharuskan mengisi kas negara dengan hasil pajak yang ditetapkan kewajibannya oleh Kepala Negara Islam untuk memenuhi segala kebutuhannya.
Di dalam bukunya yang lain pun Yusuf Qardhawi juga mengatakan sebagai berikut :
Jika zakat dan seluruh sumber dana yang lain tidak cukup untuk menjamin penghidupan kaum faqir, maka bagi orang-orang yang mampu di tengah masyarakat harus menjamin mereka, karena tidaklah beriman orang yang tidur dalam kondisi kenyang sementara tetangganya kelaparan dan tidaklah beriman orang yang tidak mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.[4]

Afzalur Rahman juga menekankan pentingnya tugas negara dalam memberikan jaminan sosial terhadap kaum miskin, ia mengatakan :
Setiap individu berhak atas penghidupan di negara Islam, dan setiap warga memiliki jaminan atas kebutuhan pokoknya. Sesungguhnya tugas dan tanggung jawab utama negara Islam untuk mengawasi setiap warga negara memperoleh kebutuhan pokok menurut prinsif hak atas penghidupan. Dan dalam hal yang berkaitan dengan masalah kebutuhan pokok, seluruh warganya dalam kekdudukan yang sederajat. Berdasarkan prinsif di negara Islam Islam ini, departemen jaminan sosial memberikan jaminan kebutuhan pokok kepada seluruh warganya yang sakit, tua, miskin, kekurangan, penganggur atau cacat serta yang tidak mampu melakukan suatu pekerjaan.[5]

Kebijakan tersebut telah dipraktekkan oleh Nabi SAW dan para khalifah sesudahnya (Khulafa'ur Rasyidin), kemauan dan tindakan mereka itu merupakan bukti yang jelas bahwa mereka benar-benar menyadari akan tanggung jawab mereka terhadap kaum miskin dalam posisi sebagai kepala negara, di mana mereka akan dimintakan pertanggung jawaban di hadapan Allah pada hari kemudian.
Bagi pemerintah Islam, menyediakan bahan pokok adalah kewajiban moral dan hukum sebelum memaksa rakyat untuk mentaati hukum yang diberlakukannya. Apabila tugas ini tidak mampu dilakukannya maka tidak ada hak moral yang sah untuk memaksa mereka agar mematuhi undang-undang yang ditetapkannya.
Demikian demikian pemerintah mempunyai kewajiban untuk menetapkan berbagai pajak tambahan lainnya apabila dana Baitul Mal dan segala sumbernya tidak mencukupi kebutuhan kaum miskin.
Kemiskinan bukanlah sesuatu yang terwujud dengan sendiri terlepas dari aspek-aspek lainnya, tetapi sebaliknya kemiskinan itu telah terwujud sebagi hasil interaksi antara berbagai aspek-aspek yang ada dalam kehidupan manusia. Aspek-aspek tersebut, yang terutama adalah aspek-aspek sosial dan ekonomi.
Hal tersebut diungkapkan oleh Al-Qur'an dengan kalimat yang bersahaja, yaitu supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu (Al-Qur'an-Hasyr ayat 7). Ini menunjukkan adanya dorongan bagi kesadaran struktural bahwa kemiskinan tercipta dari adanya kekayaan yang berlebihan orang-orang tertentu. Kemiskinan terjadi karena kekuasaan dan uang hanya beredar di kalangan orang-orang tertentu saja.[6]
Dalam realitas, kekayaan yang berlebihan terjadi karena penumpukkan kekuasaan yang berlebihan; penguasaan atas legitimasi (kekuasaan), sumber ekonomi, dan seterusnya.[7] Kemiskinan adalah tanggung jawab orang-orang kaya dan yang berkuasa untuk mengatasi agar makin banyak yang dapat ditolong dan dilepaskan dari himpitan kemiskinan antara lain dengan menegaskan tidak boleh seseorang untuk memutlakan pemilikan kekayaannya, yang seringkali mendorong seseorang untuk berbuat keji melalui kekayaan dan kekuasaannya. Atau dengan menciptakan struktur sosial-ekonomi-politik yang egaliter, demokratis dan adil.
Al-Qur'an mencritakan tentang persekongkolan para pemilik kebun yang bersepakat untuk tidak menyisihkan hak kaum miskin dan agar mereka tidak memperoleh hak tersebut pada saat musim panen tiba, kesepakatan semacam itu disinyalir sebagai penyebab langgengnya kemiskinan. Hal ini difirmankan oleh Allah di dalam surah Al-Qalam ayat 21-25 sebagai berikut :
 (#÷ryŠ$oYtGsù tûüÏÛÎ6óÁãB ÇËÊÈ   Èbr& (#rßøî$# 4n?tã ö/ä3ÏOöym bÎ) ÷LäêZä. tûüÏB̍»|¹ ÇËËÈ   (#qà)n=sÜR$$sù óOèdur tbqçGxÿ»ytGtƒ ÇËÌÈ   br& žw $pk¨]n=äzôtƒ tPöquø9$# /ä3øn=tæ ×ûüÅ3ó¡ÏiB ÇËÍÈ   (#÷ryxîur 4n?tã 7Šöym tûïÍÏ»s% ÇËÎÈ  
Artinya :   Lalu mereka panggil memanggil di pagi hari:"Pergilah diwaktu pagi (ini) ke kebunmu jika kamu hendak memetik buahnya". Maka Pergilah mereka saling berbisik-bisik."Pada hari ini janganlah ada seorang miskinpun masuk ke dalam kebunmu". dan Berangkatlah mereka di pagi hari dengan niat menghalangi (orang-orang miskin) Padahal mereka (menolongnya).[8]

Di dalam suraha Al-Kahfi ayat 79 Allah menyebutkan tentang adanya raja (penguasa) yang tidak mau memperhatikan nasib kaum miskin, bahkan dia merampas hak-hak kaum miskin tersebut.
Kemiskinan yang disebabkan oleh adanya struktur-struktur yang timpang tersebut lazimnya disebut orang dengan kemiskinan struktural, atau kemiskinan buatan. Maka dalam hal ini pemerintah mempunyai peran potensial dalam mengentaskan kemiskinan tersebut dengan menyingkirkan hambatan-hambatan yang sifatnya struktural tersebut.
Menurut Abdul Muhsin Sulaiman Thahir, pemerintah kaum muslimin wajib melaksanakan hal-hal sebagai berikut :
Pertama, memerangi para periba (rentenir).
Kedua, memungut zakat dan memerang orang-orang yang menolak membayar zakat..
Ketiga, menarik pajak dari kelebihan harta orang-orang kaya, dan mengembalikannya kepada orang-orang fakir.
Keempat, harta yang datang secara tiba-tiba, seperti ghanimah, fa'i, rikaz, dan lain-lain, jadikanlah itu semua sebag salah satu cara memperkecil perbedaan antara orang-orang fakir dan orang-orang kaya.
Kelima, sebagai pemimpin, pemerintah kaum muslimin wajib mempersiapkan sarana-sarana penting bagi pencaharian orang-orang fakir. Tariklah dari orang-orang kaya pajak bila perlu, untuk menanggung orang-orang fakir ini. Dan penarikan itu bukanlah dari pokok modal, tapi dari kelebihan harta mereka.[9]

C.    Penutup / Kesimpulan
Salah satu hal yang perlu dipikirkan dalam penanggulangan kemiskinan adalah perlu memikirkan kebijakan yang dapat meningkatkan akses penduduk miskin untuk menguasai, memanfaatkan dan mengelola sumber daya yang tersedia sehingga mereka dapat menciptakan peluang kerja serta mencukupi kebutuhan dan meningkatkan kesejahteraan hidup mereka secara mandiri. Upaya yang perlu dipikirkan pertama-tama adalah berusaha merumuskan kebijakan yang dapat meningkatkan akses mereka pada pengontrolan dan keikutsertaan dalam pengambilan keputusan tentang pemanfaatan suber daya yang tersedia di sekitar mereka.
Selain itu, perlu ada kebijakan realokasi dana yang dapat merangsang pertumbuhan ekonomi regional, merangsang peningkatan pendapatan dan memperluas peluang kerja (aktivitas kerja).
Hal lain yang cukup penting dipikirkan adalah bagaimana mengalihkan penduduk miskin dari peluang kerja yang kurang produktif ke pekerjaan yang produktif. Untuk mendukung program itu diperlukan kebijakan bersifat jangka panjang dan pendek.








DAFTAR PUSTAKA


Asy'arie, Musa, Islam, Etos Kerja dan Pemberdayaan Ekonomi Umat, LESFI, Yogyakarta,  1997.

Mannan, M. Abdul, Teori Dan Praktek Ekonomi Islam, Penerjemah : M.Nastangin, PT. Dana bhakti Wakaf, Yogyakarta, 1995.

Qardhawi, Yusuf, Kiat Islam Mengentaskan Kemiskinan, Penerjemah : Syafril Halim, Gema Insani Press, Jakarta,1995.

_____________, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, Penerjemah : KH. Dididn Hafidhuddin dkk., Robbani Press, Jakarta, 1997.

Rahman, Afzalur, Doktrin Ekonomi Islam, Penerjemah : Soeroyo dan Nastangin, PT. Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta , 1996.

Shihab, M. Qurasy, Wawasan Al-Qur’an, Mizan, Bandung,1996.

Suaedy, Ahmad (Ed.), Spiritualitas Baru : Agama dan Aspirasi Rakat, Institut Dian/Interfidei, Yogyakarta,  1994.

Thahir, Abdul Muhsin Sulaiman, Menanggulangi Krisis Ekonomi Secara Islami, Penerjemah : Anshori Umar Sitanggal, PT. Al-Maarif, Bandung,  1985.

Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur'an, Al-Qur'an Dan Terjemahnya, DEPAG RI, Jakarta, 1984.







[1] M. Qurasy Shihab, Wawasan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996), h.452.
[2] M. Abdul Mannan, Teori Dan Praktek Ekonomi Islam, Penerjemah : M.Nastangin, (Yogyakarta : PT. Dana bhakti Wakaf, 1995), h.245.
[3] Yusuf Qardhawi, Kiat Islam Mengentaskan Kemiskinan, Penerjemah : Syafril Halim, (Jakarta : Gema Insani Press, 1995), h.145.
[4]Yusuf Qardhawi, Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, Penerjemah : KH. Didin Hafidudhuddin, M.Sc., (Jakarta : Robbani Press, 1995), h.422. 
[5] Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Penerjemah : Soeroyo dan Nastangin, (Yogyakarta : PT. Dana Bhakti Wakaf, 1996), Jilid 4, h. 115.
[6] Musa Asy'arie, Islam, Etos Kerja dan Pemberdayaan Ekonomi Umat, (Yogyakarta, LESFI, 1997), h. 24.

[7] Ahmad Suaedy (Ed.), Spiritualitas Baru : Agama dan Aspirasi Rakat, (Yogyakarta : Institut Dian/Interfidei, 1994), h. 170.
[8] Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Qur'an, Al-Qur'an Dan Terjemahnya, (Jakarta : DEPAG RI, 1984), h. 962.

[9] Abdul Muhsin Sulaiman Thahir, Menanggulangi Krisis Ekonomi Secara Islami, Penerjemah: Anshori Umar Sitanggal, (Bandung : PT. Al-Maarif, 1985), h. 358-359.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar